WACANA pemerintah untuk memperluas perkebunan kelapa sawit skala besar mendapat sorotan berbagai pihak. Sawit Watch dengan tegas menilai alih fungsi hutan dan lahan menjadi sawit tidak hanya menyebabkan deforestasi melainkan juga memicu emisi karbon atau gas rumah kaca.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, Sabtu (11/1) mengatakan, sawit sebagai tanaman tentu memiliki kemampuan dalam menangkap karbon. Namun apakah tanaman sawit mampu menggantikan peran hutan alam dalam menyerap karbon?. Apakah alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyerap karbon?, atau justru pembukaan lahan menjadi sawit berkontribusi atas terjadinya emisi karbon?.
Hal ini untuk menjawab wacana kontroversial yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu terkait dengan lingkungan khususnya sawit dan deforestasi. Dari pernyataan tersebut mengisyaratkan dua hal, yaitu perluasan sawit tanpa takut akan deforestasi. Serta, bahwa sawit secara harfiah sebagai tanaman juga mampu menyerap karbon sama seperti hutan.
Setali tiga uang, setelahnya Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni menyebut ada 20 juta hektare lahan yang dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk memproduksi pangan dan energi. Hal tersebut berujung pada memperlebar peluang ekspansi sawit terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Rambo, panggilan akrab Direktur Eksekutif Sawit Watch, menegaskan alih fungsi lahan menjadi sawit dapat menyebabkan emisi GRK terjadi. Kondisinya akan berbeda bagi setiap karakteristik lahannya, jika terjadi pada lahan yang merupakan padang rumput, hutan di tanah mineral serta hutan di lahan gambut.
Data menunjukkan hasil maksimal emisi yang dihasilkan sawit dalam menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq. Hasil maksimal emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq.
Kemudian hasil maksimal emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan mineral sebesar 835 ton CO2-eq dan nilai minimal sebesar 175 ton CO2-eq. Sedangkan hasil maksimal sawit dalam menggantikan hutan di lahan gambut sebesar 1835 ton CO2-eq dan nilai minimal sebesar 1175 ton C02-eq.
“Data ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, atau telah terjadi tekor artinya yang keluar emisi CO2 dibandingkan yang diserap. Simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari alihfungsi lahan, terutama pada hutan di tanah mineral dan gambut. Alih fungsi lahan gambut memiliki dampak terburuk, dengan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” jelas Surambo
Lahan gambut menjadi contoh yang paling rentan, konversi tersebut menghasilkan emisi yang tinggi. Semua data ini memperjelas posisi dimana sebaiknya tanaman sawit tidak ditanam di lahan gambut untuk mendukung penyelamatan bumi dan memprioritaskan kelestarian lingkungan.
"Ambisi perluasan sawit dengan mengabaikan deforestasi adalah salah besar. Kemampuan sawit dalam menyerap karbon tak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan ketika alihfungsi terjadi. Upaya memperluas sawit atau ekstensifikasi hanya akan berdampak pada deforestasi lebih besar dan resiko yang lebih tinggi. Bahkan akan berkontribusi pada perubahan iklim dunia," kata Rambo.
Hasil riset terbaru kami, kemampuan lingkungan mendukung dan menampung pengembangan industri sawit (daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, D3TLH) di Indonesia hanya pada 18,15 juta hektare, dan sawit telah mendekati angka itu. Sudah saatnya pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan. (N-2)'