JURU bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Mabruri mengatakan penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden akan menguntungkan partai politik (parpol). Namun, ia menegaskan bahwa hal itu tidak menjamin setiap parpol akan memajukan calon presiden.
“Walaupun presidential threshold sudah dihapuskan, tidak serta merta setiap partai otomatis ajukan capres dari kader internal, banyak faktor yang mesti dikalkulasi,” ujar Mabruri kepada Media Indonesia, Jumat (10/1).
Mabruri menilai bahwa PKS akan melakukan kajian komprehensif agar bisa memanfaatkan penghapusan presidential threshold sebagai momentum untuk melahirkan calon presiden dari internal parpolnya.
“PKS akan melakukan kajian serius terkait masalah ini karena selama pilpres dipilih langsung, belum ada satupun kandidat capres atau cawapres dari kader PKS,” kata Mabruri.
Kendati demikian, Mabruri tak yakin penghapusan PKS presidential threshold dapat menghapus pola koalisi pada pemilu mendatang. Sebab katanya, pencalonan presiden harus dilaksanakan satu paket bersama calon wakil presiden.
“Perkiraan kami karena maju berpasangan kemungkinan besar koalisi akan tetap terjadi. Kalau Pilpres 2024 lalu ada tiga pasang. Maksimal Pilpres 2029 kemungkinan ada lima pasang calon,” ungkapnya.
Terpisah, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor mengatakan situasi internal partai sangat menentukan tingkat kemampuan parpol dalam menghadirkan calon presiden untuk dipertarungkan pada Pilpres 2029.
“Apakah dalam kurun waktu sekitar 5 tahun ke depan, partai memang benar-benar siap memiliki kader yang kualitasnya setingkat presiden atau nasional, bukan lagi level provinsi atau kabupaten/kota? Itu tidak mudah. Situasi kaderisasi parpol juga belum terlalu menjanjikan,” jelas Firman.
Selain itu, Firman menjelaskan ada faktor eksternal yang juga mempengaruhi kemampuan parpol dalam melahirkan calon presiden, khususnya terkait komitmen loyalitas parpol terhadap eksistensi presiden Prabowo yang sangat kuat.
“Kalau kita melihat PAN yang sejak awal sudah menyatakan loyalitas terhadap presiden, apakah ini loyal dalam persoalan dia akan menyelesaikan sebagai bagian dari koalisi dan kabinet sampai 2029 dan seterusnya? atau ini juga menunjukkan bahwa PAN akan tetap mencalonkan kandidat dari partai lain bukan dari partainya sendiri?,” ungkapnya.
Firman menilai peluang yang diberikan oleh MK harus menjadikan koalisi pada Pilpres 2029 semakin cair bila parpol menyadari esensi dari penghapusan Presidential Threshold. Menurutnya, parpol sudah seharusnya menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mencetak calon pemimpin.
“Fungsi parpol adalah kaderisasi dan rekrutmen, artinya parpol memang harus menjadi institusi yang mencetak calon pemimpin baik di level kabupaten/kota/provinsi dan nasional. Itu sudah menjadi kewajiban parpol yang sebenar-benarnya,” tegasnya.
“Idealnya seperti itu, tetapi dari sisi kenyataannya untuk mengajukan kandidat pada level presiden itu memang tidak mudah, sekali banyak perhitungannya,” lanjut Firman.
Atas dasar itu, Firman mengatakan bahwa pada kondisi yang ideal, parpol seharusnya mampu melahirkan kandidat capres masing-masing.
“Saya sedikit tergelitik jika nanti calonnya sedikit, karena kalau kita melihat Pilpres Timor Leste pada 2012 mereka punya 16 calon presiden walaupun jumlah penduduknya sedikit. Sedangkan Indonesia dengan 200 juta lebih penduduk justru hanya dua calon saja,” tandasnya. (J-2)