
GUNUNGAN Bromo Hajad Dalem Garebeg Mulud Dal 1959, Jumat (5/9) menandai prosesi yang istimewa dibanding peringatan pada tahun-tahun sebelumnya. Gunungan Bromo, sedekah khusus Raja Keraton yang hanya dikeluarkan sekali setiap Tahun Dal.
Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959, KRT Kusumonegoro menyampaikan, gunungan ini menjadi simbol api semangat yang dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi, menegaskan kedudukannya yang istimewa dalam tradisi Sekaten.
Gunungan Bromo berbeda dari gunungan lainnya. Berbentuk silinder tegak menyerupai Gunungan Estri, tubuhnya dibalut pelepah pisang, dengan puncak menempatkan anglo berisi arang membara untuk membakar kemenyan. Setelah didoakan di Masjid Gedhe, gunungan dibawa kembali ke Cepuri Kedhaton untuk dihaturkan kepada Sri Sultan, keluarga, dan Abdi Dalem.
“Khusus Garebeg Mulud Tahun Dal, Gunungan Bromo dibawa ke Masjid Gedhe untuk didoakan. Setelah itu, gunungan dihaturkan kembali kepada Sri Sultan dan keluarga,” papar dia.
Garebeg Mulud Tahun Dal 1959 ada enam jenis gunungan, yaitu Gunungan Kakung, Estri/Wadon, Gepak, Dharat, Pawuhan, dan Bromo.
Gunungan selain Gunungan Bromo dibagikan kepada masyarakat, sedangkan Gunungan Bromo khusus untuk Sri Sultan, keluarga, dan Sentana Dalem. Hal itu menegaskan status gunungan itu yang sakral dan istimewa.
Prosesi pengantaran gunungan melibatkan empat gajah dan 10 Bregada Prajurit Keraton. Ia menambahkan, Prajurit Langenkusumo menjadi kelompok yang istimewa. Prajurit ini merupakan kesatuan perempuan tangkas yang telah ada sejak 1767 dengan kemampuan olah wotang, keris, panahan, dan berkuda.
Prajurit lain, seperti Sumoatmaja, menjaga Miyos Dalem, Jager bertugas mengawal rombongan dari Magangan menuju Srimanganti. Prajurit Suranata bertugas untuk membuka jalan dan menjadi pagar betis rombongan.
Sebelum Garebeg Mulud, rangkaian Hajad Dalem Sekaten Tahun Dal 1959 telah dilakukan, antara lain prosesi Mbusanani Pusaka pada Kamis (4/9). Dalam prosesi ini Pangeran Sentana merawat pusaka Keraton dengan mengganti busana pelindungnya, yang merupakan persiapan penting menjelang upacara.
Ada pula prosesi Bethak yang dipimpin GKR Hemas. Prosesi ini menjadi momen menanak nasi dalam periuk pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kiai Blawong, yang kemudian diberikan kepada Sri Sultan pada Prosesi Pisowanan keesokan harinya.
"Simbol ini menegaskan kedekatan Raja dengan keluarga dan Abdi Dalem, serta kesinambungan tradisi Keraton," kata dia.
Pada Jumat pagi (5/9), Pisowanan Garebeg Dal 1959 digelar di Kagungan Dalem Bangsal Kencana. Dengan khidmat, Sri Sultan mengepal nasi dari periuk pusaka dan membagikannya kepada GKR Hemas, kerabat, dan Abdi Dalem, menjadi simbol persatuan, kebersamaan, dan kesinambungan budaya Keraton Yogyakarta.
Rangkaian ditutup dengan Prosesi Bedhol Songsong di Kagungan Dalem Tratag Prabayeksa pada malam harinya. Prosesi ini menandai selesainya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus Garebeg Mulud Tahun Dal 1959.
"Prosesi ini tidak sekadar ritual, tetapi pengingat bagi masyarakat akan sejarah, seni, dan spiritualitas Keraton yang terjaga berabad-abad," kata dia. Setiap prosesi sarat makna.
Ia menjelaskan, Gunungan Bromo melambangkan sedekah Raja dan api semangat yang dijaga. Bethak menandai usaha pemimpin mewujudkan kemakmuran rakyat.
Ngepel menyiratkan keteladanan pemimpin yang bersatu dengan rakyat, golong gilig manunggaling kawula Gusti. "Pisowanan mengingatkan di balik kesederhanaan, ada teladan persatuan Raja dan rakyat," tutup dia. (H-3)