Baru-baru ini, sebuah potret beberapa perempuan berhijab yang tengah menikmati suasana di sebuah kafe non-halal di Bali menyulut percakapan nasional. Banyak yang segera menunjuk FOMO sebagai tersangka utama, seakan-akan semua masalah bisa dijelaskan oleh ketakutan tertinggal dari tren. Ada pula yang menuding dangkalnya kesadaran halal.
Namun, kedua vonis itu terlalu cepat dan terlalu dangkal. Jika kita mengungkap lapisan yang lebih dalam, akan terlihat sesuatu yang lebih serius: bukan sekadar gejala sesaat, melainkan retaknya bangunan nilai dalam benak konsumen Muslim urban. Piramida yang seharusnya kokoh, kini terbalik; hierarki kehalalan telah terjungkal.
Bayangkan sebuah piramida yang berdiri megah. Fondasi terdasarnya adalah batu paling kokoh: prinsip halal. Di atasnya berdiri lapisan batu bata kualitas—apakah produk ini bergizi, aman, dan tahan lama. Dan di puncaknya, berdiri menara impian: keindahan, prestise, dan popularitas. Piramida ini mestinya menjadi arsitektur alami dalam pengambilan keputusan.
Namun, dalam realitas kita, piramida itu kini terbalik seperti menara pasir yang runtuh tertiup angin. Pertanyaan “Apakah ini instagrammable?” meloncat ke posisi fondasi, sementara pertanyaan yang paling fundamental—“Apakah ini halal?”—tergeser ke ujung atap, sering kali terlepas begitu saja dari bangunan.
Inilah wajah inversi nilai. Gaya hidup yang seharusnya menjadi hiasan, kini direlakan menjadi pondasi. Akidah yang mestinya menjadi pilar pertama justru diletakkan di rak paling tinggi, sulit dijangkau, dan nyaris terlupakan. Konsumen urban mengelola tiga aspek besar dalam memilih—keamanan, kualitas, dan impian—tetapi mereka memulainya dari langit, bukan dari tanah. Mereka melompat langsung ke bintang, padahal tanah tempat pijakan belum pasti kokoh.
Menjual Dunia, Bukan Sekadar Produk
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena yang dijual hari ini bukan lagi sekadar kopi, sepiring steik, atau selembar baju. Yang dipasarkan adalah dunia mini, sebuah panggung tempat identitas bisa dipentaskan. Kafe non-halal di Bali itu, misalnya, tidak sekadar menyajikan minuman; ia menawarkan tiket masuk ke panggung gaya hidup yang sudah dirias sedemikian rupa. Anak muda yang duduk di kursi kayu itu tidak sedang membeli kopi; ia sedang membeli kesempatan untuk masuk dalam cerita yang dianggap keren, sebuah potongan identitas yang bisa dipamerkan di linimasa.
Maka, solusi atas fenomena ini bukanlah melalui ceramah moral semata, melainkan melalui perancangan citra yang memikat. Kalian yang bergerak di ekosistem halal harus melihat kenyataan ini sebagai pesan strategis. Jangan hanya berdiri di parit pertahanan, mengandalkan fondasi prinsip tanpa hiasan. Dan jangan salah, pertempuran ini terjadi di atas ladang emas.
Istana Halal di Ladang Emas
Menurut data Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), hampir setengah dari produk domestik bruto Indonesia—sekitar 47,27% atau senilai Rp10.600 triliun—telah ditopang oleh sektor halal pada tahun 2024 dan ditargetkan meningkat menjadi 48,34% atau sekitar Rp11.700 triliun pada tahun 2025. Nilai ekonomi komoditas halal bersertifikat juga diperkirakan menembus Rp2.247,1 triliun pada tahun depan. Bahkan, makanan halal sendiri menyumbang sekitar Rp3.000 triliun atau hampir 20% dari total PDB nasional.
Dari panggung global, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menyerukan dalam kumparan Halal Forum 2025 bahwa aset keuangan syariah dunia diproyeksikan menembus USD 5,9 triliun pada 2026. Artinya, Indonesia tengah berdiri di ambang sebuah panggung megah, tetapi kita tidak akan pernah bisa menjadi pemeran utama jika arsitektur nilai konsumen kita sendiri sedang runtuh.
Oleh karena itu, pertempuran kini harus dimenangkan di puncak piramida—di ruang impian, citra, dan gaya hidup. Selama halal diposisikan hanya sebagai pagar, ia akan selalu tampak membatasi. Tetapi ketika halal berubah menjadi istana dengan menara yang memesona dan halaman yang ramah, ia akan menjadi destinasi yang dirindukan.
Jika kalian para pelaku usaha kafe mampu merancang istana halal yang mempesona, maka piramida nilai itu bisa berdiri tegak kembali. Halal tidak lagi datang sebagai pertanyaan yang terlambat, tetapi hadir sebagai jawaban pertama yang paling alami. Dengan begitu, kita bukan hanya menjaga fondasi akidah, tetapi juga merangkai impian yang bisa ditinggali oleh generasi Muslim masa depan.