Liputan6.com, Jakarta Dunia sepak bola diguncang oleh potensi putusan hukum yang bisa mengubah peta transfer pemain secara besar-besaran. Kasus Lassana Diarra, eks gelandang timnas Prancis, kini menjadi perhatian setelah menggugat FIFA dan Asosiasi Sepak Bola Belgia.
Diarra menuntut kompensasi senilai €65 juta (sekitar Rp1,16 triliun) atas kerugian kariernya yang terhambat oleh regulasi FIFA. Keputusan Pengadilan Kehakiman Uni Eropa (CJEU) pada Oktober 2024 yang memihak dirinya membuat dunia sepak bola teringat pada Putusan Bosman tahun 1995.
Dampak dari putusan ini bisa sangat besar, bukan hanya bagi Diarra, tetapi juga bagi seluruh pemain profesional. FIFA dipaksa meninjau ulang regulasi transfernya, sementara pemain kini memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Akar Masalah: Kontrak dan Konflik di Rusia
Kasus Diarra bermula pada 2014, setelah ia menandatangani kontrak empat tahun dengan Lokomotiv Moscow setahun sebelumnya. Hubungan keduanya retak setelah klub Rusia itu mencoba memangkas gaji sang pemain secara sepihak.
Diarra menolak pemotongan gaji dan menolak berlatih bersama tim, yang berujung pada pemutusan kontrak. Tidak hanya itu, Lokomotiv menuntut ganti rugi sebesar €20 juta kepada Diarra atas dugaan pelanggaran kontrak.
FIFA Dispute Resolution Chamber (DRC) akhirnya memutuskan Diarra bersalah dan menjatuhkan denda €10 juta. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh CAS pada Mei 2016, yang juga menambah kewajiban €110.000 kepada pengadilan arbitrase.
Karier Terhenti dan Dampak Peraturan FIFA
Sanksi dari FIFA membuat Diarra tersingkir dari sepak bola profesional lebih dari setahun. Ia bahkan gagal menandatangani kontrak dengan klub Belgia, Sporting Charleroi, karena klub khawatir akan risiko hukum.
Hal ini dipicu Pasal 17.2 dari Peraturan Status dan Transfer Pemain (RSTP) FIFA. Regulasi tersebut menetapkan bahwa klub baru bisa ikut bertanggung jawab membayar kompensasi bila merekrut pemain yang terlibat pelanggaran kontrak.
Diarra menilai aturan itu merusak masa depan kariernya secara tidak adil. Ia pun menggugat FIFA serta Asosiasi Sepak Bola Belgia, bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi pemain muda yang rentan menghadapi situasi serupa.
Bosman dan Diarra: Sejarah yang Berulang
Kasus ini langsung dikaitkan dengan Putusan Bosman 1995, yang menjadi tonggak besar dalam sejarah hukum olahraga. Kala itu, Jean-Marc Bosman memenangkan gugatan yang membuka jalan bagi pemain bebas pindah klub setelah kontraknya habis.
Sebelum putusan itu, klub masih bisa meminta biaya transfer meski kontrak pemain sudah berakhir. Bosman mengubah semuanya, memberi kebebasan yang lebih luas bagi pesepak bola Eropa dalam menentukan masa depan mereka.
Kini, Diarra menantang regulasi FIFA dengan landasan hukum yang mirip. Fokusnya ada pada kebebasan bergerak sebagai pekerja, yang juga dilindungi oleh aturan Uni Eropa.