
PENCABUTAN kartu identitas (ID card) pers liputan khusus presiden salah satu wartawan CNN, DV, di Istana Negara seusai bertanya kepada Presiden Prabowo tentang dinamika makan bergizi gratis (MBG) cukup mengagetkan. Meski Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi telah menyatakan akan mencari solusi terbaik untuk masalah tersebut, tidak bisa dimungkiri, kejadian itu tetap tiba-tiba menyita perhatian dan pemahaman demokrasi kebangsaan.
Ketua Dewan Pers Nasional Komaruddin Hidayat dengan tegas menyerukan akses liputan jurnalis CNN Indonesia segera dipulihkan sehingga yang bersangkutan dapat kembali mentransformasikan tugas-tugas jurnalistiknya (28/9/2025).
Pada Senin (29/9/2025), Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden telah menyampaikan permohonan maaf dan mengembalikan kartu identitas tersebut kepada DV yang disaksikan Pemimpin Redaksi (Pemred) CNN Indonesia Titin Rosmasari. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden (Setpres) Yusuf Permana menyampaikan bahwa Kepala BPMI Erlin Suastini menyesali pencabutan ID card itu (Media Indonesia, 29/9/2025).
Bertanya dan mempertanyakan suatu hal, khususnya dalam sebuah momentum wawancara di hadapan publik, merupakan hal biasa. Apalagi di era demokrasi yang semakin canggih diiringi lompatan-lompatan digitalisasi informasi. Lebih dari itu, tiap-tiap wartawan ketika menjalankan tugas-tugas pokok mereka telah dilindungi UU No 40/1999, mereka memiliki ruang kemerdekaan tersendiri dalam menggali, mencerna, dan memublikasikan informasi-informasi kepublikan. Terang bahwa 'pengendalian' atau 'kooptasi' atas kerja jurnalistik mereka bukan hal yang bagus dalam pertumbuhan ekosistem berdemokrasi.
Demokrasi, termasuk dinamika perpersan atau pemberitaan media massa, di samping aspek dan nilai-nilai positifnya mesti disadari juga kadang menyimpan risiko-risiko sosial tersendiri. Keterbukaan informasi publik telah disikapi banyak kalangan bagian esensial dari kematangan berdemokrasi.
Keran-keran informasi, apalagi menyangkut pola dan mentalitas kerja pemerintah, seyogianya dibuka sebaik mungkin. Sekira tebersit adanya prasangka bahwa ia akan mendistorsi apa yang menjadi visi, misi, dan kerja-kerja sosial pemerintahan, segera sisihkan jauh-jauh. Ketika keran informasi dibuka dan dikelola optimal, ia akan menjadi energi tambahan terhadap skema kerja pemerintah mewujudkan amanah dan aspirasi rakyat.
MBG ITU TEROBOSAN
Lepas dari persoalan yang belakangan mengiringi kelangsungannya di beberapa daerah, makan bergizi gratis itu terobosan yang patut diapresiasi, disyukuri, dan dibangkittuntaskan bersama-sama. Laiknya program terobosan pemerintah, khususnya Presiden dan Wakil Presiden, MBG ini sangat positif dan konstruktif.
Dinanti banyak masyarakat, lebih-lebih mereka yang memang sehari-hari masih terkendala dalam konteks mencukupi kebutuhan hidup dan perangkat pendidikan anak-anaknya. MBG, minimal, bisa meringankan atau mengurangi sedikit 'beban sosial' mereka dalam mengarungi aktualisasi dan transformasi pendidikan atas nama Indonesia.
Sebagai terobosan pemerintahan yang masih anyar, MBG tidak akan langsung melejit dan tuntas dalam waktu cepat. Ada banyak hal mulai tentang konsep, teknis, nonteknis, relasi-mitra pemodal, pola kerja, hingga pilihan bahan-bahan baku yang tentu butuh dikaji dan dievaluasi berkesinambungan.
Karena itu, plus-minus keberadaan dan kelangsungan MBG bukan lagi semata untuk 'membayar' atau 'melunasi' janji kampanye jelang Pilpres 2024 lalu. Lebih luhur dari itu, benar-benar kelak menjadi program produktif berbasis kesadaran kolektif dari dan untuk masa depan kesejahteraan masyarakat Indonesia di seluruh wilayah. Itu prinsip dan prospektif, dan tidak boleh hanya dijadikan lips service di permukaan.
Apa pun keberadaan MBG sekarang, menurut spirit Al-Qur'an (QS Quraisy [106]: 4), sejatinya ialah langkah untuk ikut menjamin masyarakat bangsa terhindar dari (tekanan) kondisi lapar dan 'krisis gizi'. Bukankah spirit ini merupakan tugas luhur dan urgens sebuah negara?
Kurang etis kalau terus-menerus dianggap tidak paradigmatik, apalagi kalau sampai dipelintir, dipelesetkan, dan direndahkan. Dari kondisi lapar dan tidak aman dalam konteks berkebangsaan serta bernegaraan, umumnya mental sosial masyarakat mudah tercemari dan bahkan memvirusi pemikiran sekaligus perilaku kontradiktif-dehumanistik. Cukup banyak fakta dan data lapangan yang bisa menguatkan fenomena itu.
Tindakan sigap pemerintah menunda sementara dalam rangka mengevaluasi berbagai aspek dari pelaksanaan MBG ialah hal yang layak diapresiasi. Itu kepekaan sosial etik yang cukup berharga. Aspiratif dan tidak manipulatif. Itu bentuk pemerintah menyediakan ruang dan momentum 'kolaboratif' dengan publik tanpa mesti muter-muter dulu.
Kewajiban seluruh elemen bangsa untuk mengingatkan, mengawal, dan ikut melestarikan reorientasi dan reformulasi dari pelaksanaan MBG secara menyeluruh. Di sini sosial kontrol masyarakat tampak jelas telah turut mengharumkan terobosan visible program pemerintah. Sentuhan produktif bagi 'magnet' berkebangsaan.
ORIENTASI DEMOKRASI
Semangat dan spirit luhur MBG juga bagian dari orientasi (ber)demokrasi. Rakyat yang menjadi lumbung utama nilai dan eksistensi demokrasi memang harus diberi perhatian menyejukkan. Tanpa masyarakat yang sejuk, teduh, dan kritis, rasanya demokrasi akan ikut kekurangan gizi. Tidak memiliki suplemen yang cukup untuk terus melaju.
Semakin masyarakat dipompa dan difasilitasi untuk berada, mengada, bertumbuh, dan berkembang dengan sehat dan membahagiakan, demokrasi akan menemukan bentuk dan akselerasinya yang rasional, proporsional, dan akuntabel. Dari sini harapan dan masa depan rakyat bisa lebih edukatif-transformatif.
Di luar sisi positif-negatif dan nilai-nilai baik buruk yang dimiliki, demokrasi yang dianut bangsa ini mempunyai kecenderungan 'nostalgia' tersendiri. Sebagian tidak lupa bagaimana tampilan demokrasi di era Orde Lama, Orde Baru, era Reformasi, apalagi masa sekarang yang ditopang kecanggihan media (digital).
Tiap era demokrasi di atas nostalgianya sungguh beragam. Ada yang benar-benar 'tertutup' dan berwatak eksploitatif, manipulatif, egoistis, represif, dan militeristis. Ada pula yang intelektualistik, paradigmatik, dan dipagari nilai-nilai humanisme. Meskipun terpatahkan di tengah jalan, melalui 'friksi' dan 'konflik' yang (di)ada(kan).
Demokrasi tak alergi atas masukan dan kritik dari dan oleh rakyat. Demokrasi juga tidak tuna-'teguran' dan 'koreksian'. Sebagai konsep, demokrasi tidak pernah 'kaku' dan 'beku'. Ia bertumbuh dan berkembang sehangat aspirasi dan tuntutan peradaban sosiokemanusiaan sebab ia sarana mengelola aspirasi sosial masyarakat.
Sebagai sistem praksis kebangsaan, demokrasi tidak dibaluri sentimentalitas-apologis hanya demi 'melanggengkan' kehendak (ke)kuasa(an) belaka. Ia perlu melebur dengan cita-cita luhur kebangsaan dan kenegaraan. Melindungi dan menjamin hak-hak sosial serta martabat publik sampai optimal di hadapan sesama maupun di hadapan Tuhan.
Mari bahu-membahu mengawal nostalgia (ber)demokrasi di Indonesia dengan kondusif, edukatif, dan harmonis. Tak baik mengeser lagi meski sejenak ke pola dan watak yang eksploitatif dan manipulatif, apalagi militeristis.
Pertanyaan, kritik, dan autokritik dari publik, termasuk jurnalis, seyogianya dimaknai dan diposisikan sebagai 'vitamin' sekaligus 'obat' mujarab untuk menjaga stamina, kesehatan, dan stabilitas eksistensi (ber)demokrasi. Bukan menyempitkan maupun menjerumuskan makna dan nilai-nilai luhurnya lantaran bersandar pada ketakutan parsialistik terkait dengan kelangsungan MBG.
Demokrasi, disadari atau tidak, salah satu 'sarana nostalgia' untuk mempertemukan ide, gagasan, konsep, dan struktur nalar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara penuh kedamaian.