
Pemerintah tengah menggagas sebuah transformasi baru dalam tata kelola royalti musik di Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat mengakhiri polemik berkepanjangan dan menghadirkan keadilan bagi para penyanyi/pencipta lagu.
Melalui digitalisasi, sistem pemungutan dan distribusi royalti ditargetkan menjadi lebih presisi, transparan, dan akurat, menjawab keluhan atas sistem yang selama ini dinilai carut marut.
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Kreatif, Yovie Widianto, menjadi salah satu figur yang mendorong percepatan pembenahan ini.
Musisi dan komposer berusia 57 tahun tersebut menegaskan bahwa kemajuan teknologi adalah kunci untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan terukur di masa depan.
"Ke depannya, salah satu yang akan kami upayakan perbaiki, yaitu dengan digitalisasi, kemajuan teknologi, semua akan lebih presisi," ujar Yovie dalam sebuah acara diskusi belum lama ini.

Sebagai gambaran, Yovie mencontohkan mekanisme yang bisa diterapkan di kafe atau pusat komersial lainnya. Dengan sistem digital, setiap lagu yang diputar dalam sebuah playlist akan tercatat secara otomatis.
"Hal ini memungkinkan perhitungan royalti yang jauh lebih akurat berdasarkan data pemutaran," ungkapnya.
Yovie menepis keraguan para pelaku usaha dan musisi panggung. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab pembayaran royalti tidak terletak pada penyanyi atau band yang tampil, melainkan pada penyelenggara acara atau pemilik usaha komersial.
Pembayaran tersebut disalurkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
"Kalau untuk penyanyi atau cafe, jangan ragu, enggak usah takut bawakan atau putar lagunya. Karena lagunya harus bayar ke LMK. Penyelenggara ke LMK, cafe ke LMK. Dan yang mengumpulkan semua itu dari LMKN. Yang didapatkan itu disebar kepada LMK di mana para komposer itu tergabung," jelas Yovie.

Meski begitu, founder grup band Kahitna ini tidak membantah bahwa praktik di lapangan masih jauh dari kata ideal.
Dalam proses distribusi royalti, Yovie melihat masih ada potensi ketidakadilan dari lembaga kolektif hingga ke tangan komposer yang berhak. Masalah inilah yang menurutnya mendesak untuk segera dibenahi.
"Bahwa dalam prakteknya, ada yang diperlakukan kurang adil, bisa jadi memang ini yang harus kita benahi, dalam hal distribusi hingga ke komposernya. Jadi distribusi tersebut kalau dengan digitalisasi, teknologi, harapannya akan lebih presisi," tutur Yovie.
Dukungan DJKI
Gagasan tersebut juga mendapat dukungan dari sisi regulator. Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen DJKI), Razilu, menegaskan kembali esensi dari royalti itu sendiri.
Menurutnya, royalti bukanlah pajak untuk negara atau sekadar beban biaya, melainkan sebuah bentuk imbalan dan hak ekonomi atas karya intelektual seseorang.
"Sesungguhnya imbalan itu hak ekonomi, kompensasi yang diberikan atas olah pikir dia. Royalti itu insentif kepada penghasil karya supaya dia berikan yang lebih baik ke depannya," papar Razilu.
Razilu mengidentifikasi titik krusial yang menjadi sumber masalah selama ini. Ia menyebut adanya "carut marut" dalam alur distribusi dari LMK kepada para pemegang hak cipta.
"Yang perlu kita benahi, yang jadi carut marut di sini, justru dari LMK kepada pemegang hak. Yang perlu kita benahi adalah, apakah kita perlu membangun transformasi, penarikan secara digital?" tutup Razilu.