
JAKSA Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Asep Nana Mulyana, menegaskan pentingnya Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam memberantas praktik korupsi yang terkait dengan sumber daya alam.
Menurut Asep, penguasaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 bukan hanya soal hak, tetapi juga kewajiban untuk mengelola secara bertanggung jawab demi kesejahteraan rakyat.
“Tindak pidana korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam adalah puncak ketidakadilan. Dengan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya melalui Pasal 14 UU Tipikor, negara memastikan manfaat dari penguasaan sumber daya tersebut benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk pembangunan, pajak, dan program sosial,” ujar Asep dalam sidang uji materi Pasal 14 UU Tipikor di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (9/9).
Ia menjelaskan, Pasal 14 UU Tipikor memiliki mekanisme pengaman agar tidak semua pelanggaran otomatis dianggap sebagai korupsi.
Menurutnya, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, terbukti ada pelanggaran terhadap undang-undang sektoral seperti kehutanan, perpajakan, atau kepabeanan. Kedua, undang-undang sektoral itu harus secara tegas menyatakan pelanggaran tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
“Maka Pasal 14 UU PTPK (Tipikor) secara tepat menargetkan pelanggaran yang memang memiliki karakter demikian, seperti penyelundupan pajak dalam jumlah besar atau perusakan hutan/lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian negara luar biasa besarnya secara monetasi,” jelas Asep.
Asep juga menegaskan bahwa seharusnya yang dipersoalkan bukan konstitusionalitas Pasal 14, melainkan penerapannya. Menurut dia, perbedaan tafsir di pengadilan terjadi karena belum semua undang-undang sektoral menyebut secara eksplisit pelanggarannya sebagai tindak pidana korupsi. “Berdasarkan seluruh uraian tersebut, terbukti bahwa Pasal 14 UU PTPK tidak melanggar ketentuan UUD 1945,” tegasnya.
Dalam perkara ini, pemohon Adelin Lis melalui kuasa hukumnya, Deni Daniel, berpendapat sebaliknya. Ia mencontohkan, kasus Adelin yang diputus bersalah korupsi berdasarkan UU Tipikor, padahal pelanggaran itu sebenarnya diatur dalam UU Kehutanan.
Menurut Dani, hal itu justru menimbulkan ketidakpastian hukum. “Pasal 14 UU Tipikor gagal memberikan kepastian hukum karena dapat diberlakukan untuk setiap pelanggaran yang sudah diatur undang-undang lain,” ujar Deni.
Sidang keempat perkara Nomor 123/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah/presiden. (Dev/P-2)