Liputan6.com, Jakarta Lassana Diarra, mantan gelandang Chelsea, Arsenal, dan Real Madrid, jadi perhatian setelah mengumumkan akan menggugat FIFA. Kasus ini berawal dari perselisihan kontraknya bersama Lokomotiv Moscow pada 2015.
Diarra menuntut kompensasi sebesar €65 juta (sekitar Rp1,16 triliun) atas kerugian karier yang ia alami. Jika berhasil, gugatan ini berpotensi menjadi kasus paling berpengaruh dalam dunia transfer sejak Bosman Ruling pada 1995.
Dengan dukungan FIFPro, Diarra bertekad melawan sistem transfer FIFA yang dianggap ilegal. “Saya telah dipaksa untuk berjuang dalam pertempuran hukum ini sejak Agustus 2014. Itu lebih dari 11 tahun!” ujarnya.
Akar Masalah: Sengketa Kontrak di Rusia
Kasus ini bermula ketika Lokomotiv Moscow mencoba memotong gaji Diarra pada 2015. Sebagai bentuk protes, ia menolak ikut latihan.
Tindakan itu berujung pada gugatan balik dari klub Rusia tersebut. Berdasarkan aturan FIFA, Diarra dinyatakan melanggar kontrak dan diwajibkan membayar kembali setengah dari biaya transfernya yang mencapai €20 juta (sekitar Rp358 miliar).
Diarra menilai keputusan itu tidak adil karena dirinya tidak terlibat dalam kesepakatan biaya transfer antara Lokomotiv dan Anzhi. Lebih parah, ia juga tidak bisa mendapatkan sertifikat transfer internasional, yang berarti kariernya praktis terhenti.
Karier yang Tersendat
Klub Belgia, Charleroi, sempat berminat merekrut Diarra, tapi batal karena khawatir terbebani kewajiban finansial terkait biaya transfer. Hal ini membuat peluang kariernya tertutup di Eropa.
Meski akhirnya bisa bermain untuk Marseille, Al Jazira, dan PSG, Diarra kehilangan sebagian besar masa keemasannya. Gugatan ini menjadi upaya untuk menuntut keadilan atas kerugian yang ia alami.
“Saya melakukan ini untuk diri saya sendiri. Namun, saya juga melakukannya untuk pemain muda yang tidak punya kekuatan finansial maupun mental untuk menantang FIFA di pengadilan,” kata Diarra.
Potensi Perubahan Pasar Transfer
Putusan Pengadilan Uni Eropa (CJEU) sudah lebih dulu memenangkan Diarra. CJEU menilai beberapa aturan transfer FIFA melanggar prinsip kebebasan pekerja dan hukum persaingan Uni Eropa.
“Pengadilan menegaskan bahwa sistem transfer mencegah pemain untuk menggunakan hak mereka mengakhiri kontrak kerja tanpa alasan yang sah meski hak itu secara prinsip diakui dalam regulasi,” klaim FIFPro.
Kasus Diarra juga melahirkan Justice for Players (JfP), sebuah gerakan yang mendorong class action bagi para pemain. Mereka bisa menuntut kompensasi tanpa biaya awal atau risiko identitas terbuka.
Menanti Dampak Besar
Walaupun ada harapan perubahan, penyelesaian gugatan class action JfP diperkirakan baru terjadi di akhir dekade ini. Itu berarti tidak akan ada perubahan cepat dalam waktu dekat.
Namun, semua perhatian kini tertuju pada Diarra, yang gugatannya diperkirakan selesai dalam 18 bulan ke depan. Jika ia berhasil mendapatkan €65 juta, itu bisa menjadi langkah besar dalam merombak sistem transfer sepak bola.
Diarra sendiri tetap yakin dengan perjuangannya. “Kalau saya bisa bertahan melawan mesin besar FIFA, itu karena saya punya karier yang baik,” ucapnya dengan tegas.
Sumber: MSN