Kekerasan tenaga medis di Indonesia semakin memprihatinkan. Mereka yang bekerja di garis depan untuk menyelamatkan nyawa justru kerap menjadi korban ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan di rumah sakit. Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, melainkan ancaman serius bagi keberlangsungan pelayanan kesehatan nasional.
Kasus terbaru pada 12 Agustus 2025 menjadi pengingat pahit. Seorang dokter spesialis, dr. Syahpri Putra Wangsa, mengalami kekerasan verbal dari keluarga pasien di RSUD Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia dipaksa melepas masker saat bertugas, sebuah tindakan yang jelas melanggar protokol kesehatan sekaligus merendahkan martabat profesionalnya.
Tak lama berselang, publik dikejutkan lagi oleh insiden di Rumah Sakit Bakti Dharma Husada (RS BDH) Surabaya. Seorang pasien menganiaya dr. Faradina dengan bongkahan gragal, memukul kepalanya dua kali dan punggungnya dua kali, hingga sang dokter harus diselamatkan oleh satpam. Kedua peristiwa ini menambah daftar panjang dokter korban kekerasan di Indonesia.
Perlindungan Hukum bagi Tenaga Medis dalam UUD 1945 dan UU Kesehatan
Padahal secara hukum perlindungan terhadap tenaga medis sudah sangat jelas. Pasal 28G ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta rasa aman dari ancaman.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 273 ayat (1) huruf a, menegaskan tenaga medis berhak mendapatkan perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi, standar prosedur operasional, etika profesi, serta kebutuhan pasien. Sementara huruf d pasal tersebut menegaskan bahwa tenaga medis berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan kerja, dan keamanan.
Sayangnya, norma hukum ini belum sepenuhnya terlaksana di lapangan. Banyak tenaga medis enggan melapor karena khawatir akan tekanan dari keluarga pasien maupun institusi tempat mereka bekerja. Aparat penegak hukum pun sering kali dianggap lamban atau tidak memberi efek jera yang tegas kepada pelaku. Kondisi ini membuat tenaga medis berada dalam posisi rawan, seolah tidak memiliki benteng perlindungan yang kokoh.
Peran IDI dan Rumah Sakit dalam Pencegahan Kekerasan
Peran organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi sangat strategis. IDI harus konsisten memberikan advokasi, mendampingi anggotanya yang menjadi korban kekerasan, sekaligus mendorong adanya kebijakan yang lebih kuat. Pendampingan hukum dan dukungan psikologis penting untuk memastikan para dokter tidak merasa sendirian menghadapi trauma akibat kekerasan.
Rumah sakit juga memegang peranan penting dalam pencegahan. Sistem keamanan internal harus diperkuat, baik dengan petugas keamanan terlatih, CCTV, maupun mekanisme mitigasi konflik. Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien perlu ditingkatkan agar memahami bahwa tenaga medis bekerja berdasarkan ilmu dan prosedur, bukan sekadar memenuhi tuntutan emosional.
Belajar dari Negara Lain: Zero Tolerance Policy
Jika menengok praktik di negara lain, perlindungan terhadap tenaga medis sudah menjadi standar global. Inggris melalui National Health Service (NHS) menetapkan kebijakan zero tolerance policy terhadap segala bentuk kekerasan kepada tenaga kesehatan.
Di Amerika Serikat, rumah sakit wajib memiliki sistem keamanan berlapis serta prosedur pelaporan insiden yang jelas. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kekerasan tenaga medis bukanlah masalah lokal, melainkan persoalan universal yang membutuhkan regulasi dan tindakan tegas dari negara.