Canberra (ANTARA) - Tim peneliti Australia pada Selasa (19/8) menyampaikan bahwa mereka sedang merekrut partisipan untuk menjalani uji klinis guna mengembangkan pengujian diagnostik pertama di dunia terhadap long COVID atau COVID-19 berkepanjangan.
Saat ini, belum ada pengujian apa pun yang dapat mendiagnosis long COVID, yang menyebabkan jutaan orang hidup dalam ketidakpastian
Namun, penemuan sebuah penanda biologis (biomarker) potensial memberikan harapan untuk pengujian diagnostik di masa mendatang, sebut sebuah pernyataan yang dirilis oleh Universitas Adelaide (University of Adelaide/UoA) Australia.
"Karena belum ada pengujian yang dapat secara jelas mendiagnosis long COVID, pasien harus menjalani proses eliminasi yang panjang, yang menambah tekanan dalam situasi yang sudah sulit. Proses tersebut rumit dan pelaksanaannya sangat berbeda pada setiap orang," ujar Lektor Kepala di UoA Branka Grubor-Bauk.
Proyek tersebut dikembangkan berdasarkan studi-studi UoA sebelumnya yang menunjukkan bahwa COVID-19 dapat mengganggu sistem imun tubuh jauh setelah penularan awal.
Grubor-Bauk mengungkapkan bahwa mereka yang menderita disfungsi imun tubuh paling parah nantinya mengalami gejala long COVID.
Ia menjelaskan sekitar 5 persen pasien mengalami gejala seperti keletihan, kabut otak (brain fog), dan nyeri dada selama lebih dari tiga bulan pascapenularan, yang terkadang berlangsung hingga satu tahun, tanpa memandang usia atau tingkat keparahan penularan awal.
Para sukarelawan studi long COVID akan diambil sampel darahnya serta mengisi kuesioner gejala dan pengujian lanjutan dilakukan jika gejala membaik untuk melacak biomarker, ujar tim peneliti itu.
Pewarta: Xinhua
Editor: Benardy Ferdiansyah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.