Liputan6.com, Jakarta - Bagi banyak pasangan, cincin nikah bukan sekadar perhiasan. Cincin menjadi simbol cinta, kesetiaan, dan komitmen yang mengikat dua hati dalam sebuah pernikahan.
Maka tak heran jika sebagian istri merasa cemas, terluka, bahkan curiga ketika melihat suami tidak lagi mengenakan cincin di jarinya. Namun, apakah hal itu selalu berarti cinta telah pudar? Menurut para terapis hubungan, tidak selalu demikian.
"Cincin hanyalah simbol. Komunikasi dan kejujuranlah yang membuat hubungan menjadi berarti," ujar seorang terapis dari The Relationship Center of Orange County, dikutip pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Pasangan perlu membicarakan hal ini secara tenang dan tanpa tuduhan agar tidak menimbulkan konflik baru. Pendekatan dengan rasa ingin tahu, bukan kecurigaan, menjadi langkah awal terbaik.
Kalimat sederhana seperti 'Aku perhatikan kamu jarang memakai cincin akhir-akhir ini, bolehkah aku tahu alasannya?' dapat membantu membuka percakapan dengan hangat tanpa menimbulkan perdebatan.
Tak Selalu Soal Kesetiaan
Tidak mengenakan cincin nikah bukan berarti mengabaikan komitmen. Dalam banyak kasus, alasan suami melepas cincin justru sangat praktis.
Beberapa profesi seperti pekerja konstruksi, mekanik, atau tenaga medis memiliki risiko tinggi bila tetap mengenakan cincin di tempat kerja.
"Kami sering mendengar cerita dari klien yang kehilangan cincin saat bekerja atau berolahraga, sehingga mereka memilih tidak memakainya lagi,"
Selain faktor pekerjaan, masalah kenyamanan juga menjadi alasan umum. Ada pria yang merasa cincin terlalu sempit, menyebabkan iritasi kulit, atau bahkan khawatir kehilangan benda berharga tersebut saat beraktivitas di luar ruangan.
Sebagian lainnya tumbuh dalam lingkungan yang tidak menempatkan cincin sebagai simbol emosional penting dalam hubungan.
Bagi sebagian pria, cincin hanyalah benda. Tapi bagi perempuan, itu bisa menyentuh sisi emosional yang lebih dalam.
Perasaan Istri Tetap Valid
Meski alasan praktis sering menjadi penyebab, para ahli menegaskan bahwa perasaan tidak nyaman dari pihak istri tetap perlu dihargai.
Perasaan terluka itu valid. Namun, jangan langsung diasumsikan sebagai tanda kurangnya cinta.
Disarankan agar pembicaraan dilakukan pada waktu yang tepat, seperti saat suasana santai di rumah atau ketika berjalan bersama.
Teguran yang dilakukan dalam kondisi emosi tinggi justru dapat memperburuk situasi.
Melalui komunikasi terbuka, pasangan bisa saling memahami sudut pandang masing-masing dan mencari solusi yang adil.
Misalnya, sepakat untuk mengenakan cincin pada acara keluarga atau momen spesial, tanpa menjadikannya kewajiban sehari-hari.
Kompromi kecil seperti ini dapat menjaga keseimbangan antara rasa nyaman dan rasa dihargai.
Cari Solusi Bersama
Jika alasan suami tidak memakai cincin berkaitan dengan ketidaknyamanan fisik, masih banyak alternatif yang bisa dicoba. Cincin berbahan silikon atau logam ringan kini banyak tersedia dan bisa menjadi pilihan lebih aman dan nyaman.
"Kami mendorong pasangan untuk mencari solusi yang realistis dan tetap bermakna bagi keduanya,"
Namun, bila kebiasaan melepas cincin menjadi bagian dari masalah yang lebih besar --- misalnya, kurangnya komunikasi, rasa tidak dihargai, atau jarak emosional --- maka konseling pasangan bisa menjadi langkah penting.
Melalui sesi terapi, suami dan istri dapat belajar mendengarkan tanpa menghakimi serta memahami kebutuhan emosional masing-masing.
Pada akhirnya, makna komitmen dalam pernikahan tidak hanya bergantung pada cincin di jari, tapi juga pada keintiman dan kepercayaan yang terus dibangun setiap hari.
Cinta sejati tidak diukur dari seberapa sering cincin itu dipakai, tapi dari bagaimana pasangan saling menghormati dan menjaga komunikasi.
Cincin mungkin bisa dilepas dari jari, tapi cinta sejati seharusnya tetap melekat di hati.