Liputan6.com, Jakarta Menjadi anak perempuan pertama sering kali berarti harus kuat, bisa diandalkan, dan tidak membuat kesalahan. Namun, di balik peran itu, banyak perempuan justru tumbuh dengan beban emosional yang tak terlihat.
Dilansir dari Women's Health, istilah Eldest Daughter Syndrome kini ramai dibicarakan setelah Taylor Swift mengangkatnya dalam lagu terbarunya, "Eldest Daughter" dari album The Life of a Showgirl.
Menurut terapis pernikahan dan keluarga, Kati Morton, fenomena ini menggambarkan tekanan berlebih yang sering dirasakan anak perempuan sulung karena ekspektasi tinggi dari lingkungan keluarga.
“Mereka dibesarkan dengan tanggung jawab yang besar, baik secara fisik maupun emosional, sehingga sering lupa memikirkan dirinya sendiri,” ujarnya.
Meski bukan istilah medis resmi, banyak perempuan merasa konsep ini membantu mereka memahami kelelahan emosional yang selama ini dianggap normal. Mereka baru menyadari bahwa kebiasaan terlalu bertanggung jawab, sulit menolak, hingga merasa bersalah saat beristirahat bisa jadi merupakan dampak dari beban masa kecil.
Fenomena ini kemudian menjadi sorotan luas karena banyak perempuan dewasa muda merasa relate dengan pesan Taylor Swift. Bagi sebagian orang, lagu itu seperti membuka ruang refleksi terhadap peran yang terlalu sering dituntut tanpa henti yakni, selalu kuat, selalu benar, dan selalu siap menolong orang lain.
Ciri-Ciri Sindrom Anak Perempuan Pertama
Ciri paling umum dari sindrom anak perempuan pertama adalah rasa tanggung jawab berlebih. Mereka merasa harus memastikan semua orang baik-baik saja, dari adik, orang tua, hingga pasangan.
“Banyak anak pertama tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai diri mereka diukur dari seberapa banyak mereka membantu,” kata Morton.
Sikap ini membuat mereka sulit menolak permintaan orang lain, bahkan ketika sudah kewalahan. Menurut Morton, pola ini terbentuk sejak kecil karena mereka terbiasa mengurus dan menjadi contoh bagi adik-adiknya.
“Anak perempuan pertama sering kali berperan sebagai ibu kedua dan peran itu terbawa hingga dewasa,” tambahnya. Akibatnya, mereka rentan mengalami kelelahan emosional dan burnout karena terus menomorsatukan orang lain.
Perfeksionisme
Perfeksionisme juga menjadi ciri kuat pada banyak anak perempuan pertama. Psikolog klinis asal New York, Marianna Strongin, menjelaskan bahwa tekanan untuk selalu menjadi panutan membuat mereka sulit menerima kegagalan.
“Anak pertama perempuan sering menetapkan standar sangat tinggi bagi dirinya sendiri karena sejak kecil dibiasakan harus tampil sempurna,” ujarnya.
Tekanan untuk tidak boleh salah inilah yang kemudian menimbulkan kecemasan berlebih. Mereka bisa merasa bersalah bahkan untuk hal kecil, seperti lupa membalas pesan atau menolak permintaan bantuan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat mereka rentan terhadap stres kronis dan kelelahan mental.
“Perfeksionisme mereka sering kali bukan karena ambisi, tapi karena rasa takut mengecewakan orang lain,” tambah Strongin.
Kebutuhan Validasi dan Sulit Menetapkan Batas
Selain itu, perempuan dengan sindrom anak pertama cenderung memiliki kebutuhan besar akan validasi eksternal. Mereka terbiasa mencari pengakuan dari orang lain agar merasa berharga.
“Karena selalu diajarkan untuk menjadi yang bisa diandalkan, mereka sering kesulitan mengatakan tidak atau menetapkan batas yang sehat,” jelas psikolog sekaligus CEO Forward Recovery di Los Angeles, Renee Solomon.
Solomon menambahkan, banyak di antara mereka yang tanpa sadar terjebak dalam peran people pleaser.
“Mereka takut jika berhenti membantu, orang lain akan kecewa atau meninggalkan mereka,” katanya.
Kondisi ini membuat mereka sulit beristirahat, bahkan merasa bersalah ketika mencoba memprioritaskan diri sendiri.
Cara Mengatasi Kelelahan Emosional Anak Perempuan Pertama
Para ahli menyarankan untuk mulai menyadari pola lama dan belajar menetapkan batas yang sehat. Morton menyebut, “Langkah pertama adalah menyadari bahwa Anda tidak bertanggung jawab atas kebahagiaan semua orang.”
Ia juga menekankan pentingnya dukungan sosial dan terapi untuk memutus pola perfeksionisme dan rasa bersalah yang sudah tertanam sejak kecil.
Strongin menambahkan, refleksi diri juga sangat membantu. “Cobalah menulis atau berbicara tentang tanggung jawab yang dulu Anda pikul dan bagaimana perasaan Anda terhadapnya. Dari sana, Anda bisa belajar bahwa menjadi cukup sudah lebih dari cukup,” ujarnya.
Pesan utama yang diangkat para ahli sejalan dengan pesan dalam lagu Taylor Swift, yaitu menjadi anak perempuan pertama bukan berarti harus selalu sempurna. Perempuan juga berhak beristirahat, meminta tolong, dan mencintai dirinya sendiri tanpa rasa bersalah.