
Ahli hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menjelaskan ihwal penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Menurutnya, SPDP diberikan maksimal 7 hari setelah adanya penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik).
Hal itu disampaikan Suparji saat dihadirkan menjadi ahli dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, melawan Kejagung, di PN Jakarta Selatan, Rabu (8/10).
"Bahwa SPDP memang harus diberikan, ya, maksimal 7 hari setelah dimulainya Sprindik, surat perintah penyidikan tadi itu," kata Suparji dalam persidangan.
"Diberikan kepada siapa? Diberikan kepada Penuntut Umum, kalau dalam korupsi kepada KPK dan kepada terlapor atau kemudian kepada tersangka," jelas dia.
Suparji menilai, saat SPDP tidak diberikan kepada seorang tersangka dengan pertimbangan bahwa penyidik menggunakan Sprindik Umum atau belum adanya tersangka dari suatu kasus tindak pidana, maka hal itu telah sesuai prosedur hukum.
"Nah, ketika yang dilakukan oleh penyidik dalam hal ini, SPDP diberikan kepada penuntut, kepada KPK, [tapi] belum diberikan kepada tersangka dengan pertimbangan memang belum ada tersangka, maka itu adalah suatu proses yang benar secara hukum," ucap Suparji.
"Nah, kenapa tidak diberikan kepada terlapor? Karena dalam konteks tindak pidana korupsi, tentunya tidak secara eksplisit menyebut siapa terlapornya, kalau yang dilaporkan adalah sebuah peristiwa pidana," paparnya.
Suparji menyebut, hal tersebut berbeda jika penyidik telah menemukan tersangka dalam kasus tindak pidana.
"Adalah benar ketika memang SPDP tadi baru diberikan kepada dua pihak dan tidak diberikan kepada tersangka karena memang belum ada tersangka, dan tersangka tadi baru dalam proses pencarian," tutur dia.
"Beda konteksnya kalau sudah ditemukan tersangka, maka ada kewajiban untuk memberitahukan SPDP tadi kepada tersangka yang disebut tadi," imbuhnya.

Sebelumnya, tim penasihat hukum Nadiem menilai penahanan yang dilakukan oleh Kejagung bersifat sewenang-wenang. Pasalnya, kliennya dijerat sebagai tersangka sebelum ada penerbitan SPDP.
"Tanpa diterbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan atau SPDP terlebih dahulu, sebelum melakukan upaya paksa tersebut maupun setelah dikeluarkan surat perintah penyidikan," ujar tim penasihat hukum Nadiem dalam sidang perdana praperadilan, Jumat (3/10) lalu.
"Tindakan Termohon [Kejagung] tersebut merupakan pelanggaran atas hak Pemohon [Nadiem] untuk memperoleh kepastian hukum, menghilangkan fungsi pengawasan horizontal oleh Penuntut Umum, dan membuka peluang terjadinya penyidikan yang sewenang-wenang," sambungnya.
Kasus Nadiem
Nadiem saat ini berstatus sebagai tersangka Kejagung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek.
Kasus ini berawal pada Februari 2020. Saat itu, Nadiem yang menjabat sebagai Mendikbudristek melakukan pertemuan dengan pihak Google Indonesia.
Dalam pertemuan itu, disepakati produk Google yakni Chrome OS dan Chrome Device (laptop Chromebook) akan dijadikan proyek pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)-nya Kemendikbudristek. Padahal saat itu pengadaan alat TIK ini belum dimulai.
Kemudian pada 2020, Nadiem selaku menteri menjawab surat dari Google Indonesia soal partisipasi pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek.
Surat tersebut sebelumnya tidak direspons Muhadjir Effendy selaku Mendikbud sebelum Nadiem, sebab uji coba pengadaan Chromebook 2019 gagal dan tidak bisa dipakai oleh sekolah di garis terluar atau 3T.
Kerugian dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun. Angka tersebut didapat dari selisih perhitungan harga pengadaan laptop.
Berikut dua selisih keuntungan penyedia pengadaan laptop Chromebook yang dinilai oleh Kejagung sebagai kerugian negara:
Software (Chrome Device Management) senilai Rp 480.000.000.000;
Mark-up laptop di luar CDM senilai Rp 1.500.000.000.000.
Kejagung belum merinci detail perbandingan harga wajar dengan harga yang dibeli per laptop bersama software-nya, serta komponen lainnya, oleh pihak Kemendikbudristek saat itu.
Terkait penetapannya sebagai tersangka, Nadiem membantah melakukan perbuatan sebagaimana disampaikan Kejagung. Ia menyatakan bahwa Tuhan akan melindunginya.
Nadiem menegaskan bahwa dirinya selalu memegang teguh integritas dan kejujuran selama hidupnya.
Nadiem pun kini telah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapan tersangkanya tersebut. Saat ini, gugatan praperadilan Nadiem itu telah masuk tahap pembuktian di persidangan.